Selamat Hari Anak Nasional!
Yap, Sabtu kali ini bertepatan dengan perayaan Hari Anak Nasional. Sebagai emak dari dua bocah pecicilan berumur 6 tahun dan 2 tahun dan juga seorang guru Bahasa Inggris yang mengajar anak-anak, aku tahu betul bagaimana tingkah laku anak-anak yang kadang bikin kesel, gemes, tapi ngangenin.
Anak pertamaku, Deniz, usianya sudah 6 tahun tetapi masih duduk di bangku TK B. Aku memang sengaja memasukkan dia ke TK pada umur 5 tahun agar nanti usianya tepat 7 tahun saat masuk SD. Tidak hanya itu, aku dan suami sepakat untuk membiarkan anak belajar tanpa dipaksa. Ini artinya kami berdua tidak mengajarkan baca tulis sama sekali. Sesuatu hal yang mungkin di mata orang tua lain dianggap aneh. Tentu saja ini bukan keputusan yang mudah. Jangankan orang lain, orang tuaku sendiri saja kurang setuju karena katanya nanti ketinggalan dengan anak-anak lain yang umur 6 tahun sudah masuk SD.
Kebetulan Deniz masuk ke TK berbasis Islam. Namanya juga sekolah Islam, tentu saja ada hafalan doa, surat pendek, dan hadits. Kegiatan hafalan ini dilakukan setiap hari, istilahnya di-drilling agar anak ingat. Sayangnya, Deniz bukanlah tipe anak yang bisa menghafal. Ini pun kami telat menyadarinya. Tidak hanya itu, aku juga sering mendapatkan laporan Deniz sebagai anak yang tidak fokus dan suka jahil ke teman-temannya. Sedih? Malu? Tentu saja, manusiawi sekali. Aku bahkan sempat marah dan berusaha mengejar ketertinggalan Deniz dengan mengulang-ulang pelajaran setiap dia pulang sekolah. Tidak jarang aku juga suka membentak Deniz.
Bagaimana hasilnya? Nol besar. Bukannya semakin hafal dan mengejar ketinggalan, Deniz justru semakin mundur. Hingga sampai pada satu titik di mana Deniz sudah mentok, sudah frustasi dan akhirnya terus menangis ketika ditanya tentang doa-doa. Deniz jadi kurang percaya diri. Aku dan suami coba mengevaluasi diri dan mencoba memahami Deniz. Apa yang dia suka, apa yang dia tidak suka, apa kegiatan favoritnya, sampai apa yang membuatnya bisa fokus dan duduk anteng.
Deniz suka sekali dengan art & craft. Di saat teman –teman sebayanya menggandrungi figur superhero, acara favorit dia justru acara art&craft Mister Maker di Cebeebies. Deniz betah berjam-jam menggambar, mewarnai, menggunting, dan menempel. Bahkan, aku sampai harus menyembunyikan kotak-kotak kemasan makeup-ku karena kalau ditaruh sembarangan pasti sudah lenyap habis diguntingi sama dia. Ketika belajar dengan diselingi kegiatan art & craft, Deniz ternyata bisa menyerap pelajaran yang diberikan.
Hasil evaluasi itu juga membuat aku ngeh bahwa selama ini yang aku lakukan (memarahi anak, membentak anak) termasuk dalam kekerasan terhadap anak. Astagfirullah. Maafkan mommy dan daddy ya, mas Deniz. Tanpa aku dan suami sadari, kami berdua mengajarkan kekerasan pada anak. Padahal kami berdua tahu, kekerasan akan berulang. Apa yang kami lakukan ke Deniz, bisa ditiru oleh dia dan ditiru oleh generasi setelah Deniz.
Sesuai dengan tema Hari Anak Nasional “Akhiri Kekerasan Pada Anak”, pemerintah mengajak semua pihak untuk mengakhiri kekerasan pada anak mulai dari detik ini. Sekecil apapun kekerasan yang dilakukan, stop saat ini juga. Cobalah introspeksi diri, apakah kita sebagai orang tua sudah memberikan yang terbaik dan tidak melakukan kekerasan terhadap anak kita sendiri? Anak adalah titipan dari Allah SWT yang perlu dijaga dengan baik. Merekalah yang nanti akan menggantikan kita dan menjadi pemimpin bangsa ini. Bentuklah mereka menjadi pribadi yang memiliki akhlak yang kuat, percaya diri, jujur, dan peduli terhadap lingkungan dan sesama.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyindir siapapun. Tulisan ini dibuat sebagai pengingat bagi para ibu, khususnya aku pribadi, untuk tidak melakukan kekerasan pada anak. Apalagi anak sendiri. Berikanlah senyum dan kasih sayang pada anak-anak kita. Berikanlah yang terbaik pada mereka agar mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang baik pula.
Thanks for reading.
Levina Mandalagiri says
Thanks untuk sharingnya. Iya yak, kadang memang masih ya kita secara ngga sadar marah2. Apalagi kalau udah capai lelah hayati. Biasanya anak-anak kalau saya udah marah, mereka malah protes. Kok marah-marah? Hihi…akhirnya saya minta maaf ke mereka, sambil jelasin.
Atisatya Arifin says
Betul mbak, tanpa sadar tya suka marah atau meninggikan suara dan ternyata itu nggak baik untuk perkembangan mental anak. Semoga lewat postingan ini tya bisa jadi orang tua yang lebih baik lagi.
Amanda Ratih says
terasa tertampar mba, aku juga belum bisa mengendalikan emosiku sama anak T_T
Atisatya Arifin says
kita sama-sama berusaha jadi lebih baik ya mbak… agar anak-anak kita bisa tumbuh jadi pribadi yang kuat dan berhati lembut juga..
indah nuria Savitri says
Selalu beri yang terbaik untuk buah hati kita ya mba :). Dengan senyum dan kasih sayang, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang hangat dan menyenangkan
Atisatya Arifin says
iya mbak… terima kasih sudah diingatkan.. 🙂